Tuesday, January 8, 2013

Cemme Passili, Tradisi Saling Cebur ke Sungai

Cemme Passili, Tradisi Saling Cebur ke Sungai KOMPAS.com / ABDUL HAQ Ribuan warga desa di Kabupaten Bone Sulawesi Selatan saling cebur ke sungai dalam ritual mandi suci atau Cemme Passili, Senin (19/11/2012).

BONE, KOMPAS.com - Ribuan warga Desa Ulo, Kecamatan Tellusiattingnge, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan mengikuti ritual saling cebur ke sungai sebagai rangkaian dari ritual tahunan yang disebut dengan "Cemme Passili" atau mandi suci, Senin (19/11/2012) kemarin.

Sejak pagi hari, ribuan warga telah memadati bibir sungai Ulo untuk menyaksikan ritual yang hanya dilakukan setahun sekali itu. Dalam ritual ini, seluruh warga desa harus diceburkan ke sungai tak pilih usia maupun jenis kelamin, hal inilah yang membuat warga yang berasal dari luar desa pun datang untuk menonton.

Ritual yang dimulai dengan pemanjatan doa oleh sesepuh adat, hingga menceburkan tokoh adat serta kepala desa dan diikuti oleh ribuan warga. Sementara, ada pula pemandangan saling kejar-kejaran antara warga yang menolak terlibat dalam ritual ini.  Hal itulah yang justru menambah kemeriahan ritual dengan gelak tawa warga.

Sejatinya, ritual ini dilakukan untuk meminta hujan dan dilakukan setiap tahunnya secara turun temurun. Hal ini bermula dari bencana kelaparan dan kekeringan yang melanda nenek moyang mereka, hingga akhirnya raja setempat memanggil seluruh rakyatnya untuk berdoa meminta hujan, sambil bermain air yang di dasar sungai yang hampir kering.

"Pada saat Raja Ulo memanggil semua rakyatnya untuk berdoa agar terhindar dari bencana kekeringan di sungai ini maka seketika itu turunlah hujan dan mulai saat itu ritual ini dilakukan secera turun temurun setiap tahunnya," jelas Andi Kusayyeng, Kepala Desa setempat.

Sayangnya, ritual adat yang dianggap sakral oleh masyarakat setempat dinodai dengan munculnya sebuah panggung orasi yang menghadirkan salah satu pasangan bupati dan gubernur setempat dengan mengumbar janji politik diiringi hingga mengakibatkan sorakan warga yang menggelar ritual adat tenggelam oleh alunan musik dangdut yang dibawakan oleh para biduanita.

"La kenapa mesti ada kandidat ini murni tradisi kami kenapa ada kandidat bupati sama gubernur? Padahal ini kan belum saatnya kampanye," ujar Wahyudin salah seorang warga yang kesal dengan kehadiran panggung politik yang hanya berjarak 100 meter dari bibir sungai.


View the original article here

0 comments:

Post a Comment